candi borobudur kerajaan di indonesia

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN ADIL GENDER DI PONDOK PESANTREN AL – MUAYYAD SURAKARTA

Vikri Zahara

Sari


IMPLEMENTASI PENDIDIKAN ADIL GENDER DI PONDOK PESANTREN AL – MUAYYAD SURAKARTA

 

 

Vikri Zahara, Siany Indria Liestyasari, dan Nurhadi

Pendidikan Sosiologi Antropologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Surakarta vikrizahara205@gmail.com

Abstrak

Implementasi pendidikan adil gender di pondok pesantren Al – Muayyad Surakarta belum dilakukan secara optimal. Meskipun secara umum santri putra dan santri putri diberikan hak pendidikan yang sama di bidang akademik dan non akademik namun masih terjadi perbedaan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dari proses pendidikan. Belum optimalnya implementasi pendidikan adil gender di pondok pesantren Al – Muayyad Surakarta dikarenakan kendala kultural yang mengakibatkan adanya kebijakan kurang responsif gender. Kendala kultural yang dimaksud yaitu sistem patriarki. Pada sistem patriarki laki-laki mengontrol kerja perempuan. Implikasinya santri putra menempati otoritas utama di lingkungan pesantren. Dalam analisa teori nature dan culture, perempuan dan fungsinya diidentikkan dengan “kehidupan”, menempatkan dirinya dekat dengan alam. Berbeda dengan laki-laki yang sepenuhnya bebas dengan proyek “budaya”. Perempuan yang diidentifikasikan sebagai “alam”, dianggap sebagai orang yang berkaitan erat dengan sektor domestik. Sedangkan laki-laki di tempatkan sebagai kelompok  yang berhak  mengisi  sektor  publik.  Begitu  juga di  pesantren  Al  – Muayyad masih memperlakukan santrinya dengan dikotomi peran tersebut. Akibatnya santri putri mempunyai akses terbatas untuk mengikuti kegiatan di luar pesantren. Selain itu santri putra juga masih mendominasi pengambilan keputusan dalam rapat gabungan. Santri putri juga tidak bisa menempati posisi teratas dalam struktur  organisasi.  Subordinasi  pada  santri  putri  juga  terlihat  dari  minimnya

kesempatan untuk tampil di depan umum. Karena sesuatu yang massal dan bergengsi dianggap sebagai wilayah laki – laki. Akhirnya pengalaman yang didapat santri putra lebih  banyak.  Dampaknya bekal  yang diterima santri  putri  untuk persiapan terjun ditengah masyarakat tidak sebesar santri putra.

 

Kata Kunci : Pendidikan, Keadilan Gender, Pesantren


Teks Lengkap:

PDF

Refbacks

  • Saat ini tidak ada refbacks.